Dampak Negatif PT. Freeport
Indonesia
Teori :
Etika bisnis perusahhan memiliki peran yang sangat penting, yaitu untuk membentuk suatu
perusahaan yang kokoh dan memiliki dsaya saing yang tinggi serta mempunyai
kemampuan menciptakan nilai yang tinggi,diperlukan suatu landasan yang kokoh. bila
sebuah perusahaan tidak menjalankan etika bisnisnya dengan baik dampak
negatifnya tentu banyak sekali yakni akan berakibat bangkrut dan tidak ada
pelanggan yang akan percaya kepada prodak/jasa yang perusahaan jalankan serta
jeleknya image perusahaan. Maka sebab itu
untuk menanggulangi dampak negative perusahaan harus menerapka CSR ( Coorporate
Social Responsibility) yaitu suatu konsep organisasi khususnya perusahaan
memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham,
komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan.
Kasus:
Dampak Negatif Kontrak Karya Freeport Yang Merugikan Negara 10.000 Triliun Per
Triwulan Freeport masuk ke Indonesia dengan fasilitas Presiden Soeharto.
Penguasa orde baru itu membuat kontrak karya atau persetujuan pada tahun 1967
dengan perusahaan Amerika Serikat untuk menggarap tambang emas yang berada di
Irian Jaya (sekarang Papua). Kontrak karya dengan Freeport pada tahun 1967 yang
ditanda tangani pemerintah di bawah kekuasaan Presiden Suharto itu bisa
dipertanyakan keabsahannya, mengingat antara tahun 1963 sampai 1969, Irian
Barat (ketika itu) sedang menjadi daerah perselisihan internasional
(international dispute region). Apa yang telah dikerjakan oleh pemerintahan
Orde Baru dan diteruskan oleh pemerintahan sesudahnya, hingga pemerintahan SBY,
nyata-nyata bertentangan dengan tujuan Trikora Presiden Soekarno, yakni untuk
membebaskan Papua dari penjajahan dan menyatukannya dengan RI. Selama 44 tahun,
PT Freeport menggarap tambang emas di tanah Papua dengan hanya memberikan
secuil saham ke pihak Indonesia. Tentu saja, ini tidak sebanding dengan
keuntungan yang diraup Freeport. Gencarnya perlawanan masyarakat Papua dan
tajamnya kritik berbagai kalangan di Indonesia mengenai Freeport mengharuskan
pemerintah SBY mengambil tindakan yang mendasar. Tentu saja untuk memperbaiki
kesalahan-kesalahan yang sudah dilakukan sejak puluhan tahun oleh Orde Baru.
Perlakuan yang lebih adil bagi kepentingan masyarakat Papua adalah kunci
penyelesaian masalah yang semakin rumit ini. Untuk itu, pemerintah SBY harus
berani memaksakan peninjauan kembali kontrak karya dengan Freeport, sehingga
kehadirannya di Papua betul-betul ikut mendatangkan keadilan dan kemakmuran
bagi masyarakat Papua dan juga bagi negara dan rakyat Indonesia lainnya.
Direktur
Eksekutif Indonesian Resources Studies Marwan Batubara mengatakan, potensi
kerugian negara dari kontrak karya pertambangan dengan PT. Freeport
diperkirakan mencapai Rp 10.000 triliun. Marwan mengklaim, PT. Freeport selama
ini hanya membayar royalti sebesar 1 persen. Padahal, sesuai aturan PT.
Freeport harus membayar royalti kepada pemerintah sebesar 3 persen. Selain itu,
ada dugaan pajak yang dibayarkan kepada pemerintah terlalu kecil dibandingkan
dengan keuntungan yang diperoleh perusahaan tambang Amerika itu. “Jadi, kita
tidak bicara royalti saja, yang paling penting adalah pajaknya, benar tidak?
Karena pajak itu kan dihitung dari laba. Pajak itu dari keuntungan, bukan
pendapatan, kalau keuntungan artinya sudah dipotong biaya operasional. Kalau
biaya operasionalnya mereka tinggi-tinggikan, gaji direktur orang Amerika
misalnya 1 juta dolar per tahun, kita tidak bisa apa-apa. Nah itulah yang kita
dapat selama ini,” ujarnya di Jakarta. Marwan Batubara menambahkan, kontrak
karya pertambangan dengan PT Freeport merupakan salah satu kontrak karya yang
merugikan Indonesia. Karena itu, penerintah harus bernegosiasi ulang kontrak
karya tersebut. Salah satu poin penting yang harus dimasukkan dalam negosiasi
ulang adalah penempatan wakil dari pemerintah Indonesia sebagai salah satu direktur.
Posisi ini penting agar Indonesia tidak selalu dirugikan dalam setiap kebijakan
yang diambil PT. Freeport. Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR Chandra Tirta
Wijaya mengatakan penerimaan PT Freeport Indonesia yang mengoperasikan
tambangnya di Tembagapura, Papua masih tiga kali lipat lebih besar daripada
penerimaan pemerintah melalui pajak, royalti, dan dividen yang diberikan
PT Freeport selama ini. “Penerimaan pemerintah dari pajak, royalti, dan dividen
PT. Freeport jauh lebih rendah dari yang diperoleh PT. Freeport,” kata Chandra
di gedung DPR. Menurutnya, sejak tahun 1996 pemerintah Indonesia hanya menerima
479 juta dolar AS, sedangkan Freeport menerima 1,5 miliar dolar AS. Kemudian,
di tahun 2005, pemerintah hanya menerima 1,1 miliar dolar AS. Sedangkan
pendapatan Freeport (sebelum pajak) sudah mencapai 4,1 miliar dolar AS. Chandra
menjelaskan, PT. Freeport sejauh ini hanya memberikan royalty bagi pemerintah
senilai 1 persen untuk emas, dan 1,5% - 3,5% untuk tembaga. Royalti ini jelas
jauh lebih rendah dari negara lain yang biasanya memberlakukan 6% untuk tembaga
dan 5% untuk emas dan perak.
Kisruh
Papua yang berkepanjangan, diduga sangat terkait dengan penolakan PT Freeport
Indonesia terhadap proposal renegosiasi kontrak karya pertambangan. Intinya,
Berdasarkan rumor yang berkembang belakangan ini ada sekitar tiga perusahaan
tambang yang tidak setuju renegosiasi kontrak karya, diantaranya PT Freeport
Indonesia. Seperti diketahui, saat ini PT Freeport Indonesia hanya menyetor
royalti 1% saja kepada pemerintah Indonesia. Padahal berdasarkan aturan dan
ketentuan yang berlaku adalah 3,75%. Tentu saja pemerintah mengusulkan
renegosiasi. Dan sebab itu kepentingan Freeport merasa terganggu. Yang jelas
perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS), Freeport- McMoran, sudah
mengumumkan kondisi force majeure untuk pengapalan produk pertambangan dari
tambang emas dan tembaga di Indonesia. Pengumuman kondisi force majeure itu,
berarti Freeport bisa menghindari denda biasanya karena gagal memenuhi
kewajiban sesuai kontrak. Masalah kerusuhan di Freeport sangat dimungkinkan
juga tidak jauh dari modus untuk memenangkan renegosiasi oleh Freeport.
Pola-pola kisruh di Papua selalu berulang dan memiliki modus. Beberapa periode
ini, terjadi upaya melakukan perbaikan renegosiasi kontrak dengan Freeport.
Tapi pada saat yang bersamaan muncul huru-hara seperti sekarang. Ada
penembakan-penembakan. Munculnya masalah- masalah di Papua tak bisa dilepaskan
begitu saja. Apalagi ketika terkait renegosiasi seperti sekarang ini, peristiwa
kisruh muncul.
Analisis :
Tentu saja dari
uraian artikel diatas sangat jauh dari etika bisnis yang diharapkan, baik untuk
masyarakat papua tersendiri, maupun Negara Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa
PT.Freeport Indonesia tidak melakukan tingkah laku etika bisnis yang baik.
Mulai dari tidak mau merenegosiasi masalah kontrak karya antara Freeport dengan
Indonesia, membayarkan royalty kurang dari standart yang dibayarkannya, mebuat
risuh keamanan di papua, dan masyarakat papua hidup tidak sejahtera. Sebagai
pengingat sejarah kontrak karya 1936
– Jacques Dozy menemukan cadangan ‘Ertsberg’. 1960 – Ekspedisi Forbes Wilson
untuk menemukan kembali ‘Ertsberg’. 1967 – Kontrak Karya I (Freeport Indonesia
Inc.) berlaku selama 30 tahun sejak mulai beroperasi tahun 1973. 1988 –
Freeport menemukan cadangan Grasberg. Investasi yang besar dan risiko tinggi,
sehingga memerlukan jaminan investasi jangka panjang. 1991 – Kontrak Karya II
(PT Freeport Indonesia) berlaku 30 tahun dengan periode produksi akan berakhir
di tahun 2021, serta kemungkinan perpanjangan 2x10 tahun (sampai tahun 2041).
Bayangkan mau menjadi apa tanah papua kita bahkan Indonesia memberikan begitu
banyak hasil kekayaan untuk Negara lain sedangkan daerah Negaranya sendiri
belum sejahtera dalam hidupnya.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar