Senin, 11 November 2013

dampak negatif perusahaan berkaitan dengan etika bisnis



Dampak Negatif PT. Freeport Indonesia 

Teori :

 

Etika bisnis perusahhan memiliki peran yang sangat penting, yaitu untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan memiliki dsaya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan menciptakan nilai yang tinggi,diperlukan suatu landasan yang kokoh. bila sebuah perusahaan tidak menjalankan etika bisnisnya dengan baik dampak negatifnya tentu banyak sekali yakni akan berakibat bangkrut dan tidak ada pelanggan yang akan percaya kepada prodak/jasa yang perusahaan jalankan serta jeleknya image perusahaan. Maka sebab itu untuk menanggulangi dampak negative perusahaan harus menerapka CSR ( Coorporate Social Responsibility) yaitu suatu konsep organisasi khususnya perusahaan memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan.
Kasus:
            Dampak Negatif Kontrak Karya Freeport Yang Merugikan Negara 10.000 Triliun Per Triwulan Freeport masuk ke Indonesia dengan fasilitas Presiden Soeharto. Penguasa orde baru itu membuat kontrak karya atau persetujuan pada tahun 1967 dengan perusahaan Amerika Serikat untuk menggarap tambang emas yang berada di Irian Jaya (sekarang Papua). Kontrak karya dengan Freeport pada tahun 1967 yang ditanda tangani pemerintah di bawah kekuasaan Presiden Suharto itu bisa dipertanyakan keabsahannya, mengingat antara tahun 1963 sampai 1969, Irian Barat (ketika itu) sedang menjadi daerah perselisihan internasional (international dispute region). Apa yang telah dikerjakan oleh pemerintahan Orde Baru dan diteruskan oleh pemerintahan sesudahnya, hingga pemerintahan SBY, nyata-nyata bertentangan dengan tujuan Trikora Presiden Soekarno, yakni untuk membebaskan Papua dari penjajahan dan menyatukannya dengan RI. Selama 44 tahun, PT Freeport menggarap tambang emas di tanah Papua dengan hanya memberikan secuil saham ke pihak Indonesia. Tentu saja, ini tidak sebanding dengan keuntungan yang diraup Freeport. Gencarnya perlawanan masyarakat Papua dan tajamnya kritik berbagai kalangan di Indonesia mengenai Freeport mengharuskan pemerintah SBY mengambil tindakan yang mendasar. Tentu saja untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang sudah dilakukan sejak puluhan tahun oleh Orde Baru. Perlakuan yang lebih adil bagi kepentingan masyarakat Papua adalah kunci penyelesaian masalah yang semakin rumit ini. Untuk itu, pemerintah SBY harus berani memaksakan peninjauan kembali kontrak karya dengan Freeport, sehingga kehadirannya di Papua betul-betul ikut mendatangkan keadilan dan kemakmuran bagi masyarakat Papua dan juga bagi negara dan rakyat Indonesia lainnya.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies Marwan Batubara mengatakan, potensi kerugian negara dari kontrak karya pertambangan dengan PT. Freeport diperkirakan mencapai Rp 10.000 triliun. Marwan mengklaim, PT. Freeport selama ini hanya membayar royalti sebesar 1 persen. Padahal, sesuai aturan PT. Freeport harus membayar royalti kepada pemerintah sebesar 3 persen. Selain itu, ada dugaan pajak yang dibayarkan kepada pemerintah terlalu kecil dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh perusahaan tambang Amerika itu. “Jadi, kita tidak bicara royalti saja, yang paling penting adalah pajaknya, benar tidak? Karena pajak itu kan dihitung dari laba. Pajak itu dari keuntungan, bukan pendapatan, kalau keuntungan artinya sudah dipotong biaya operasional. Kalau biaya operasionalnya mereka tinggi-tinggikan, gaji direktur orang Amerika misalnya 1 juta dolar per tahun, kita tidak bisa apa-apa. Nah itulah yang kita dapat selama ini,” ujarnya di Jakarta. Marwan Batubara menambahkan, kontrak karya pertambangan dengan PT Freeport merupakan salah satu kontrak karya yang merugikan Indonesia. Karena itu, penerintah harus bernegosiasi ulang kontrak karya tersebut. Salah satu poin penting yang harus dimasukkan dalam negosiasi ulang adalah penempatan wakil dari pemerintah Indonesia sebagai salah satu direktur. Posisi ini penting agar Indonesia tidak selalu dirugikan dalam setiap kebijakan yang diambil PT. Freeport. Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR Chandra Tirta Wijaya mengatakan penerimaan PT Freeport Indonesia yang mengoperasikan tambangnya di Tembagapura, Papua masih tiga kali lipat lebih besar daripada penerimaan pemerintah melalui pajak, royalti,  dan dividen yang diberikan PT Freeport selama ini. “Penerimaan pemerintah dari pajak, royalti, dan dividen PT. Freeport jauh lebih rendah dari yang diperoleh PT. Freeport,” kata Chandra di gedung DPR. Menurutnya, sejak tahun 1996 pemerintah Indonesia hanya menerima 479 juta dolar AS, sedangkan Freeport menerima 1,5 miliar dolar AS. Kemudian, di tahun 2005, pemerintah hanya menerima 1,1 miliar dolar AS. Sedangkan pendapatan Freeport (sebelum pajak) sudah mencapai 4,1 miliar dolar AS. Chandra menjelaskan, PT. Freeport sejauh ini hanya memberikan royalty bagi pemerintah senilai 1 persen untuk emas, dan 1,5% - 3,5% untuk tembaga. Royalti ini jelas jauh lebih rendah dari negara lain yang biasanya memberlakukan 6% untuk tembaga dan 5% untuk emas dan perak.
Kisruh Papua yang berkepanjangan, diduga sangat terkait dengan penolakan PT Freeport Indonesia terhadap proposal renegosiasi kontrak karya pertambangan. Intinya, Berdasarkan rumor yang berkembang belakangan ini ada sekitar tiga perusahaan tambang yang tidak setuju renegosiasi kontrak karya, diantaranya PT Freeport Indonesia. Seperti diketahui, saat ini PT Freeport Indonesia hanya menyetor royalti 1% saja kepada pemerintah Indonesia. Padahal berdasarkan aturan dan ketentuan yang berlaku adalah 3,75%. Tentu saja pemerintah mengusulkan renegosiasi. Dan sebab itu kepentingan Freeport merasa terganggu. Yang jelas perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS), Freeport- McMoran, sudah mengumumkan kondisi force majeure untuk pengapalan produk pertambangan dari tambang emas dan tembaga di Indonesia. Pengumuman kondisi force majeure itu, berarti Freeport bisa menghindari denda biasanya karena gagal memenuhi kewajiban sesuai kontrak. Masalah kerusuhan di Freeport sangat dimungkinkan juga tidak jauh dari modus untuk memenangkan renegosiasi oleh Freeport. Pola-pola kisruh di Papua selalu berulang dan memiliki modus. Beberapa periode ini, terjadi upaya melakukan perbaikan renegosiasi kontrak dengan Freeport. Tapi pada saat yang bersamaan muncul huru-hara seperti sekarang. Ada penembakan-penembakan. Munculnya masalah- masalah di Papua tak bisa dilepaskan begitu saja. Apalagi ketika terkait renegosiasi seperti sekarang ini, peristiwa kisruh muncul.
Analisis :
Tentu saja dari uraian artikel diatas sangat jauh dari etika bisnis yang diharapkan, baik untuk masyarakat papua tersendiri, maupun Negara Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa PT.Freeport Indonesia tidak melakukan tingkah laku etika bisnis yang baik. Mulai dari tidak mau merenegosiasi masalah kontrak karya antara Freeport dengan Indonesia, membayarkan royalty kurang dari standart yang dibayarkannya, mebuat risuh keamanan di papua, dan masyarakat papua hidup tidak sejahtera. Sebagai pengingat sejarah kontrak karya 1936 – Jacques Dozy menemukan cadangan ‘Ertsberg’. 1960 – Ekspedisi Forbes Wilson untuk menemukan kembali ‘Ertsberg’. 1967 – Kontrak Karya I (Freeport Indonesia Inc.) berlaku selama 30 tahun sejak mulai beroperasi tahun 1973. 1988 – Freeport menemukan cadangan Grasberg. Investasi yang besar dan risiko tinggi, sehingga memerlukan jaminan investasi jangka panjang. 1991 – Kontrak Karya II (PT Freeport Indonesia) berlaku 30 tahun dengan periode produksi akan berakhir di tahun 2021, serta kemungkinan perpanjangan 2x10 tahun (sampai tahun 2041). Bayangkan mau menjadi apa tanah papua kita bahkan Indonesia memberikan begitu banyak hasil kekayaan untuk Negara lain sedangkan daerah Negaranya sendiri belum sejahtera dalam hidupnya.

Sumber: 

 



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar